Plagiarism Dalam Ranah Pendidikan
Oleh:
Nurchasanah Ananda Sari
Penjiplakan
atau biasa disebut plagiarism menjadi masalah yang tidak akan ada
hentinya. Penjiplakan sering didapati dalam suatu karya, baik dalam karya tulis
maupun karya tidak tertulis (musik, tari, aransemen, gambar, dll). Bukan karena
tidak dapat membuat suatu karya, tentu semua orang memiliki ide dan kreativitas
masing-masing, namun karena rasa malas telah mengalahkan kemampuan untuk
berpikir.
Kaum
pelajar mungkin sudah tidak asing lagi dengan penjiplakan. Bagaimana tidak?
Jika tenggat waktu tugas tinggal sepersekian jam, ‘copy-paste’ pun
menjadi cara yang jitu. Hanya dengan satu klik, semua tugas dapat selesai
dengan cepat. Tidak perlu lama berpikir karena telah ada yang berpikir. Padahal
kaum pelajar adalah kaum yang ‘terpelajar’. Kaum yang dibekali ilmu untuk
menjadi manusia yang senantiasa berpikir untuk kemajuan dunia. Tapi apa jadinya
jika semua kaum, yang katanya terpelajar, ini senang menjiplak? Tentu saja akan
tercipta generasi pemalas dan dunia tidak akan berkembang karena ide yang ada
hanya itu-itu saja. Lalu apa gunanya ilmu yang diemban jika tidak membuahkan
hasil? Lebih baik bangku di sekolah-sekolah diisi oleh orang lain yang
bersugguh-sungguh menuntut ilmu. Jutaan orang ingin merasakan bangku
pendidikan, tapi orang yang menduduki bangku tersebut menyepelekannya.
Kasus
plagiarism tidak hanya terjadi pada pelajar, kasus ini juga menjerat
beberapa dosen. Pada proses sertifikasi dosen tahun 2013 ditemukan 808 kasus plagiarism.
Kasus yang ditemui seperti pemalsuan dokumen karya ilmiah, jurnal rakitan,
jurnal bodong, artikel sisipan, label akreditasi palsu, nama pengarang sisipan,
buku lama dengan sampul baru, dan perbedaan nama pengarang (tribunnews.com).
Ini bukanlah angka yang sedikit mengingat proses sertifikasi dosen amatlah
penting untuk meningkatkan mutu pendidikan. Walaupun banyak pengajar lain yang
tidak melakukan plagiarism, tetapi kasus tersebut telah memberi contoh
bahwa plagiarism tidak memandang seberapa tinggi pendidikan seseorang.
Jika para pengajar saja melakukan plagiarism, bagaimana negeri ini bisa
maju?
Lalu
bagaimana solusi untuk menghentikan plagiarism jika tingkat pendidikan
saja tidak dapat menjamin seseorang melakukan plagiarism atau tidak?
Solusi utama dari penghentian kegiatan plagiarism adalah dari diri
sendiri. Jika terdapat kemauan untuk berkarya maka plagiarism tidak akan
terjadi karena suatu karya hanya dihasilkan dari ketulusan, bukan dengan
keterpaksaan. Kedua, sikap saling menghargai juga dapat meminimalisir kasus plagiarism.
Dengan membayangkan menjadi korban plagiarism tentu akan membuat
seseorang lebih berhati-hati dalam mencari sumber dan menuangkan ide. Jika
suatu karya ingin dihargai, maka dapat dimulai dengan menghargai karya orang
lain terlebih dahulu.
Komentar
Posting Komentar