TIA
Oleh: Nurchasanah Ananda Sari
“Aduh... sakit!” Nanda merasakan
sakit yang tak tertahankan pada perutnya. Sudah setahun ia merasakan hal yang
sama. Ia sudah pergi ke berbagai klinik, tapi itu bukan menyembuhkannya malah
membuatnya semakin parah. Waktu ia pergi ke klinik yang terakhir, dokter disana
mengatakan, “Kalau anak Ibu sakit seperti ini lagi, jangan bawa kesini. Kami
sudah tidak mampu menanganinya,” itulah yang dikatakan dokter itu pada Mama Nanda
beberapa bulan yang lalu.
Dengan cepat orang tua Nanda membawa
Nanda ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, Nanda dimasukan ke
ruang UGD. Nanda pun ditangani oleh para dokter, setelah sakitnya mereda ia
dibawa ke ruang rawat inap.
Besoknya,
sakit itu pun datang lagi. Nanda sudah pasrah jika penyakit itu kambuh lagi. Ia
hanya bisa berdoa. Penyakit itu membuat perut Nanda seperti ditusuk-tusuk
jarum. Rasanya sakit sekali. Untuk jalan pun Nanda tidak bisa, apalagi duduk.
“Aduh Ma sakit! Huhu...” teriak Nanda sambil
menangis. Ia menggenggam kencang tangan
Mamanya.
“Iya Nanda sabar. Baca do’a sayang... Mama
tahu Tuhan pasti sedang mengujimu. Kamu harus yang kuat ya,” kata Mama Nanda
sambil mengelus rambut anaknya. “Mama mau panggil dokter dulu, kamu sabar ya,”
Mama Nanda pun keluar memanggil dokter. Tak lama kemudian Mama Nanda, dokter,
dan suster pun memasuki ruangan Nanda. Nanda pun diperiksa dan diberi obat.
“Bu, sepertinya Nanda harus di USG. Kami
belum tahu pasti penyakit apa yang diderita anak Ibu,” kata dokter Ellen
menerangkan.
“Baik dok,” jawab Mama Nanda. Setelah itu
dokter dan suster pun pergi.
“Ma, Nanda itu sakit apa sih? Pasti parah
banget. Yakan Ma? Sampe-sampe dokter aja nggak tau. Padahal dokter kan
sekolahnya tinggi. Apa ada kemungkinan...” Nanda pun menelan ludah dalam-dalam
lalu melanjutkan kalimatnya “...Nanda meninggal?” sontak Mama Nanda pun kaget. Nanda
hanyalah anak kelas 5 SD, tapi kenapa ia berbicara seperti itu?
“Hush, Nanda nggak boleh ngomong kayak gitu.
Kan Nanda sebentar lagi mau di USG, nanti kita bakal tau Nanda sakit apa. Nanda
pokoknya harus kuat dan nggak boleh ngomong kayak gitu lagi.”
“Iya Ma.”
“Iya Ma.”
“Udah mendingankan? Nggak kayak tadi?” tanya
Mama Nanda.
“Iya, udah mendingan kok Ma. Ma Nanda
ngantuk, Nanda tidur ya. Mama juga tidur ya,” jawab Nanda.
“Iya sayang.” Nanda pun berdo’a, dengan
perlahan ia memejamkan matanya. Ia sudah ngantuk. Jam sudah menunjukan pukul 11
malam, Nanda pun tertidur.
ÿ
Hasil USG pun keluar, tetapi
dokter masih ragu dan belum bisa mentapkan pasti penyakit yang di derita Nanda. Dokter pun menyarankan
agar Nanda di CT-Scan. Nanda pun melaksanakan scanning pada bagian perutnya. Di dalam ruangan CT-Scan sangat
dingin, Nanda harus memakai jaket berlapis. Scanning
pun dimulai, suster menyuruh Nanda untuk memejamkan mata karena sinarnya bahaya
untuk mata. Nanda pun melaksanakannya.
Beberapa hari kemudian hasilnya
keluar. Orang tua Nanda sangat kaget dengan hasilnya. Nanda penasaran sekali
dengan penyakit yang ia derita selama ini.
“Ma boleh liat hasilnya?” tanya Nanda sambil
menunjuk map yang dipegang Mamanya. Mamanya pun memberikan map tesebut. Nanda
melihatnya isinya foto berbentuk bulat-bulat seperti telur. “Ma ini penyakit Nanda?
Namanya apa?”
“TIA.” Jawab Mama Nanda dengan lemas.
“Hah TIA? Apaan tuh Ma? Kok kayak nama
orang?”
“Tumor Intra Abdomen,” map yang Nanda pegang
pun terjatuh. Ia tak tahu harus bagaimana. Jadi penyakit yang ia derita selama
ini adalah tumor. Di dalam hati Nanda menangis, ia tidak ingin menunjukan air
mata di depan Mamanya. “Jangan sedih, ini jinak kok. Bisa sembuh, asal di
operasi.
“Operasi?” tanya Nanda gugup.
“Iya. Nanti kita pindah rumah sakit. Soalnya
disini nggak ada operasi untuk anak kecil. Adanya untuk orang dewasa.” jawab
Mama Nanda.
“Yaudah Ma. Nanda mau sembuh. Nanda nggak mau
kayak gini terus. Kapan operasinya Ma?”
“Secepatnya.” jawab Mama Nanda singkat.
ÿ
Nanda pun di rujuk ke rumah
sakit Cipto Mangunkusumo. Nanda beruntung karena Mamanya mempunyai teman yang bekerja di rumah sakit
itu. Jadi dalam waktu seminggu ia sudah bisa memasuki rumah sakit itu.
Sedangkan orang lain harus menunggu berbulan-bulan karena banyak sekali pasien
disana.
Ia bosan di rumah sakit. Disana
makanannya tidak enak karena tidak ada rasa. Hari-harinya di rumah sakit hanya
dihabiskan untuk membaca buku pelajaran dan majalah. Ia selalu membaca buku
pelajaran, karena ia takut ketinggalan materi.
Sudah 2 minggu lebih ia di rumah
sakit. Dan tepat hari ini adalah hari ulang tahunnya. Ia senang sekali banyak
yang ingat hari ini. Nanda hanya ingin satu hadiah. Ia hanya ingin semuanya
mendo’akan agar ia sembuh.
Hari H pun tiba. Hari dimana
tumor itu akan menghilang dari tubuh Nanda. Semua keluarga Nanda datang. Dari
mulai kakek, nenek, om, tante, adik, ayah, semuanya pada datang. Semuanya telah
disiapkan dengan baik, dari mulai kantong darah yang berisi golongan darah O,
ruang ICCU, Botol infus, dan sebagainya. Nanda pun dibawa oleh suster dengan kursi
roda ke ruang operasi. Keluarga Nanda pun mengikuti suster ke ruang operasi.
Tapi mereka hanya bisa menunggu di ruang tunggu, sedangkan Nanda di operasi. Di
dalam ruang operasi, Nanda disuruh ganti baju khusus untuk operasi, lalu ia
berbaring di kasur dan disuntikan cairan pembius. Lama kelamaan Nanda pun
mengantuk dan semuanya menjadi gelap.
ÿ
Nanda membuka matanya dengan
perlahan. Kini ia berada dalam ruangan yang gelap. Hanya ada beberapa cahaya
lampu yang menyinarinya. Masker oksigen yang menempel di hidungnya ia lepas.
Sesaat Nanda ingin bangun, tapi sekujur tubuhnya terasa sakit, kecuali kepala,
tangan, dan kakinya.
Para dokter dan suster menghampiri Nanda untuk melepas
beberapa kabel dari tubuhnya.
“Udah sadar?” tanya suster yang sedang
melepas kabel dari tubuh Nanda.
“Hmm... Udah sus,” jawab Nanda dengan lemas.
“Kamu ini anak yang kuat ya, padahal kamu
masih kecil. Banyak yang seumuran kamu harus masuk ruang ICCU dan membutuhkan
donor darah sehabis operasi. Tapi kamu nggak. Tubuh kamu termasuk kuat.” kata
suster tersebut sambil tersenyum kepada Nanda.
“Makasih,” jawab Nanda dengan senyuman.
“Kamu disini dulu ya sebentar. Suster mau
ngasih tau ke keluarga kamu dulu,” Nanda menjawab dengan anggukan. Lalu para
suster dan dokter pun pergi. Tak lama
kemudian mereka kembali dan memindahkan Nanda ke tempat tidur pasien, lalu
dibawa ke kamar inap yang sebelumnya Nanda tempati.
Dalam waktu 3 hari, Nanda sudah
bisa jalan walaupun pelan. Ia bersyukur karena usahanya tidak sia-sia. Nanda
tidak ingin berbaring di tempat tidur. Rasanya capek dan pegal. Ia berlatih
dari menggerakan tangannya hingga duduk. Setelah semua itu bisa, ia mencoba
untuk berdiri dan berjalan. Ternyata ia berhasil. Nanda meminta pada dokter
agar ia cepat di pulangkan. Ia tahu perutnya masih terasa sakit karena jahitan
operasi, tapi ia tidak ingin berlama-lama di rumah sakit. Ini sudah minggu
ketiga ia berada di rumah sakit.
ÿ
Hari ini Nanda pulang. Betapa
senang dia terbebas dari rumah sakit itu. Ia rindu suasana rumah. Baru sampai 1
jam sampai, tiba-tiba teman satu kelas serta guru Nanda menjenguknya. Ia sangat
bahagia. Semua terlihat senang Nanda telah pulang.
“Nan, gue kangen banget sama lo,” sahut Claudia
sahabat Nanda.
“Iya gue juga. Hampir satu bulan gue gak
duduk sama lo. Rasanya bete banget. Tau gak? Tiap hari gue berdo’a agar lo
cepet-cepet pulang. Welcome back Nanda!”
Annida teman sebangku serta sahabat karib Nanda memeluk Nanda dengan erat. Air
mata pun menetes dari mata Nanda. Mereka selalu mendo’akanku? Betapa baiknya
mereka. Mereka memang sahabat terbaik yang Nanda pernah miliki.
“Perlombaan caturnya gimana? Gugur ya?
Kasiaaaan. Makanya jangan sakit jadi gugur deh,” sahut Rayhan. Yap. Terakhir Nanda
masuk sekolah ia sedang lomba catur dan ia menang. Tapi karena Nanda sakit ia
terpaksa di gugurkan.
“Yah mau gimana lagi. Gue kan sakit. Emang
udah nasib gue gak boleh ikut kali ya,” balas Nanda.
“Jangan sedih. Udah Ray, jangan gangguin Nanda.
Dia kan baru pulang. Eh Nan, senin masuk ya. Awas lo nggak masuk,” sahut Annida.
“Iya kok, tenang aja. Tau nggak? Gue kangen
banget sama kalian. Maaf ya gue nggak masuk sekolah lama banget. Ini bukan
kemauan gue. Tapi karena penyakit itu. Maaf selama ini gue udah nyusahin
kalian. Sekarang gue akan berubah dan gak akan ninggalin kalian...” Nanda
memeluk semua temannya. Semenjak hari itu, Nanda selalu menjaga kesehatannya.
Ia nggak ingin orang lain sedih karena dirinya. Dan semenjak hari itu pula, Nanda
bercita-cita jadi dokter. Ia tidak ingin ada yang menderita seperti dirinya.
Cukup ia saja. Nanda berharap penyakit ini benar-benar hilang dari tubuhnya dan
tidak akan kembali lagi untuk selamanya.
Komentar
Posting Komentar